Selamat membaca
Tanya Jawab Seputar Islam
semoga bermanfaat

Al-kautsar an islamic side adalah blog tentang risalah/artikel islam dan aplikasi islami

Showing posts with label Tanya Jawab Seputar Islam. Show all posts
Showing posts with label Tanya Jawab Seputar Islam. Show all posts

Memaknai Tahun Baru Hijriah Berdasarkan Sejarah Islam


Assalamu'alaikum para Saudaraku seiman, 
Semoga keselamatan dan keberkahan kepadamu sekalian.

Alhamdulillah segala puji dan syukur kepada Allah Tuhan semesta alam, serta shalawat dan salam atas Nabi junjungan Muhammad SAW, semoga cinta dan kasih sayangnya masih melekat di hati kita semuanya, amiin ya Allaah..

Lama tak nulis kerna kesibukan kerja, alhamdulillah saat ini saya mendapat hidayah dan kesempatan dari Allah untuk kembali berbagi dan sharing tentang perkara islam. Untuk kesempatan ini saya akan membahas tentang bagaimana memaknai tahun baru hijriah dengan judul " Memaknai Tahun Baru Hijriah Berdasarkan Sejarah Islam" berketepatan saat ini adalah 1 Muharram 1436 H. Hehehe. Sebelumnya saya mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam 1436 H ya kepada saudara-saudaraku semuanya. 

Sepertinya muqoddimah dah siap dah, dari pada berlama-lama lebih baik kita langsung ke topik ( macam kata wak Tukul, "kembali ke laptop".

Artikel ini bermula dari status saya di Fb yang mengangkat tentang tahun baru islam,

"Thola'al badru 'alaina, min syaniiyyatil wadaaa', wajabasysyukru 'alaaaina, mada'aaalillaaaahidaa"
mengenang kalimat yang didendangkan sekitar 578 tahun silam di Madinah
Maknanya boleh kita cerminkan dlm diri masing2...
Selamat Tahun Baru Hijriah 1436 H "


alhamdulillah banyak di antara saudaraku yang muslim kasi like. Yang paling menonjol adalah komentar dari om saya Muhammad Hasyim yang mengajukan pertanyaan kepada saya.

Dulu bgt semangat sahabat menyambut kedatangan islam yg dibawa rasul kini semangat itu mulai hilang oleh sebahagian ummat islam penyebabnya adalah...... apa mikjlis cb jawab"

Menanggapi pertanyaan tersebut saya pun langsung berpikir dan mencoba mengingat sejarah islam dan membandingkannya dengan kehidupan ummat muslim pada saat ini, lalu saya pun membalas komentar om tersebut "
"....dari sejarah, kegembiraan ummat muslim pada saat seperti ini adalah kerna melihat datangnya Nabi, selamatnya Nabi dari kepungan para kafir, Bagaimana kegembiraan itu ?? mengapa ummat muslim begitu bergembira??

jawabannya tak lain adalah kerna kecintaan mereka kepada Agama Allah dan baginda SAW, kekhawatiran mereka , kecemasan mereka selama menunggu Nabi, Ketika dari jauh sahabat melihat kedatangan Nabi, mereka pun bersorak gembira dengan penuh syukur. Nah sekarang mengapa kegembiraan itu seakan tidak dikenang lagi??? Jawabnya adalah " Seberapa besar sekarang cinta yang dimiliki ummat muslim kepada Allah dan Baginda SAW"

banyak penyebabnya ooom, 3 yang paling menonjol menurut saya adalah



1. pemahaman tentang islam sangat minim, banyak diantara kita yang berlomba-lomba mengerjar kehidupan dunia, jadi sering lupa tentang hidup setelah matinya, makanya sekarang pendidikan islam itu gk terlalu menarik utk orangtua mengajarkan anak-anaknya (lihat berapa banyak sekarang ummat islam yang buta dengan al-quran, tapi siap berkorban mahal untuk sains, dan ilmu2 dunia yang lain;
ingat dalam Q.S Al-Anfal 8 : 2
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal"
apakah mungkin hati akan seperti itu jika mata hati dan mata lahir kita dah buta dengan al- quran?

2. ummat islam sekarang dilahirkan dalam ketentraman, sehingga sering lupa tentang sejarah islam, bagaimana perjuangan dan pengorbanan (harta dan nyawa) Rasulullah SAW dengan para sahabat untuk menegakkan syahadat, ( saya yakin jika ummat islam sekarang akan menolak jika ada kesempatannya syahid di jalan Allah, mereka akan menolak, dengan alasan dunianya )

3. Ummat islm sekarang jarang berbincang-bincang dengan Allah, jarang curhat dengan allah, jaaaauh dari Allah, bagaimana hidayah akan datang klu kita menutup hati??"


Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin ini bukan tanpa alasan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu untuk melakukan hijrah.
Firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
Q.S An-Nisaa 4 : 97

Pertama : Karena adanya siksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Begitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dakwah secara terbuka, berbagai ancaman mulai diarahkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpikir untuk mencari perlindungan di luar Makkah. Sehingga terjadilah hijrah kaum muslimin ke Habsyah, Thaif, dan kemudian ke Madinah.

Penyebab hijrah ini, di antaranya karena penyiksaan dan penindasan kaum kafir Quraisy atas kaum muslimin. Riwayat yang menguatkan faktor ini, tersirat dalam perkataan Bilal Radhiyallahu anhu ketika ia hendak berhijrah:

اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ

Wahai Allah ! Laknatlah Syaibah bin Rabî'ah, 'Utbah bin Rabî'ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami ke negeri derita.

Juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang hijrahnya orang tuanya. Beliau Radhiyallahu anhuma berkata:

اسْتَأْذَنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْخُرُوجِ حِينَ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْأَذَى

Abu Bakr Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhijrah, ketika penderitaannya terasa berat.

Kedua :Adanya kekuatan yang akan membantu dan melindungi dakwah, sehingga memungkinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan leluasa. Hal ini sebagaimana tertuang dalam nash Bai'atul-'Aqabah kedua. Yaitu kaum Anshâr berjanji akan melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana melindungi anak dan istri mereka.

Ketiga : Para pembesar kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat Makkah menganggap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendusta, sehingga mereka tidak mempercayainya. Dengan kondisi seperti ini, maka beliau n ingin mendakwahkan kepada masyarakat lainnya yang mau menerimanya. Banyak dalil yang menunjukkan faktor ini, di antaranya ialah sebagaimana perkataan Sa'ad bin Mu'âdz Radhiyallahu anhu :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَأَخْرَجُوهُ

Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih aku sukai untuk aku jihadi mereka karena-Mu daripada suatu kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya.

Keempat : Kaum muslimin khawatir agama mereka terfitnah. Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang hijrah, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:

كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ

Kaum mukminun pada masa dahulu, mereka pergi membawa agama mereka menuju Allah dan Rasul-Nya karena khawatir terfitnah.

Itulah beberapa faktor yang mendorong kaum muslimin berhijrah, meninggalkan negeri Makkah menuju negeri yang baru, yaitu Madinah. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla .

Khabbab Radhiyallahu anhu berkata:

هَاجَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ نَلْتَمِسُ وَجْهَ اللَّهِ فَوَقَعَ أَجْرُنَا عَلَى اللَّهِ

Kami hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari wajah Allah, sehingga ganjaran kami benar-benar di sisi Allah Azza wa Jalla.

Dari faktor-faktor tersebut lihatlah, bagaimana perjuangan ummat muslim untuk mempertahankan iman saat itu. Berkorban harta, keluarga dan tanah kelahiran mereka sendiri demi mempertahankan imannya. 

Jika kita pandang dalam kehidupan kita saat ini, mari kita tanyakan kepada hati kecil kita, apakah semangat islam itu masih bersemayam di hati kita? seberapa besar cinta kita sekarang kepada Allah dan RasulNya? Seberapa banyak cinta kita kita kepada ajaran Islam yang Rasulullaah dan para Sahabat perjuangkan di masa lalu? Seberapa solid persaudaraan kita sesama muslim sekarang?
Itu cukup kita jaan dalam diri masing-masing.

Simpulnya, hikmah dari Tahun baru Hijriah ini jika kita pandang dari sisi sejarah islam adalah :

Pertama: perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap Muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Mekah menuju suasana yang prospektif di Madinah.

Kedua: Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah dari hal-hal yang baik ke yang lebih baik lagi. Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda mereka.

Ketiga: Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya pada waktu itu.

"dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana."
Q.S Al-Anfal 8 : 63

Ayok saudaraku, mari bergegas, janganlah kita terlena dengan kemilau dunia. Mari berhijrah , berhijrahlah untuk kebaikanmu jua.

 "Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "
Q.S An-Nisaa 4 : 100

Semoga kita selalu dalam lindungan allah SWT.
Semoga bermanfaat
wassalam :)
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 2:01:00 PM

Shalat Jenazah Tanpa Berwudhu'

Assalamu'alaikum....,
Alhamdulillah, semoga sahabat2 dan saidaraku sekalian senantiasa dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindunganNya. Amin

Pada kesempatan ini , saya akan mengangkat perkara yang sebenarnya sangat jarang terpikirkan oleh kita, ialah Shalat Jenazah Tanpa Berwudhu'. Bagaimana pun secara spontan jika kita hendak shalat pasti sewajarnya kita berwudhu' terlebih dahulu kare ia merupakan syarat syah shalat. Tapi yang namanya manusia yang memiliki sifat baharu dan lupa. Terjadi pada kasus berikut yang saya kemas dengan sesi tanya jawab. Dapat di pengajian soalnya, trus minta catatan ustadznya. Heheheh


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustadz, saya mau bertanya tentang dua hal. Pertama, bagaimana hukum Islam memandang orang yang melaksanakan shalat jenazah tanpa berwudhu’ terlebih dahulu? Kedua, bagaimana ketika kita sudah melaksanakan shalat jenazah kemudian kita baru ingat bahwa kita telah batal wudhu’ sedangkan si mayyit sudah dimakamkan, apakah diganti dengan shalat ghaib atau bagaimana ustadz? Terima kasih, dari Hendra – di Medan


Jawaban:

Para ulama fiqih berpendapat bahwa hadas itu dibagi menjadi dua bagian, Pertama: Hadas kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhu saja. Kedua: Hadas besar, yang kedua ini pun dibagi dua: Ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan. Orang yang berhadas kecil dilarang melakukan beberapa hal:

Pertama, Shalat, baik sunnah maupun wajib, menurut kesepakatan semua ulama. Hanya Imamiyah berpendapat lain tentang shalat jenazah. Bagi Imamiyah, dalam shalat jenazah tidak diwajibkan berwuddhu, hanya disunnahkan saja, karena ia hanya mendo’akan saja pada dasarnya, bukan shalat yang sebenarnya. Semua yang dinamakan shalat tidak boleh dilakukan tanpa wudhu walaupun sujud tilawah atau shalat janazah, sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR. Muslim)

Kedua, Thawaf, ia seperti shalat, maksudnya tidak sah melakukan thawaf tanpa berwudhu terlebih dahulu, begitulah menurut Maliki, Syafi’i, Imamiyah dan Hambali berdasarkan hadis: “Berthawaf di Baitullah adalah shalat”. Hanafi mengatakan bahwa barangsiapa yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan hadas, ia tetap sah, sekalipun berdosa. Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)

Ketiga, Sujud tilawah dan sujud syukur juga wajib suci (berwudhu), me­nurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah hanya disunnahkan. Kelima, Menyentuh mushaf. Semua Mazhab sepakat bahwa tidak boleh menyentuh tulisan Al-Qur’an kecuali suci. Hanya mereka berbeda pendapat tentang orang yang berhadas kecil, apakah ia boleh menulis Al-Qur’an dan membacanya, baik ada Al-Qur’an-nya maupun tidak ada, dan menyentuhnya dengan aling-aling serta membawanya demi menjaganya. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci. Allah swt., berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (al-Waqi’ah: 77)

Dibolehkan membawa atau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu berupa barang atau tafsir/terjemahan yang kalimatnya lebih banyak dari isi al-Qur’an. Barang siapa yang ragu apakah ia masih menyimpan wudhu atau tidak maka hendaknya ia bepegang kepada keyakinnya, sesuai dengan hadist Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Apabila seseorang dari kalian merasa sesuatu di dalam perutnya, yaitu ragu-ragu apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudhu) hingga ia dengar suara atau ia merasakan angin (bau).” (HR Muslim)

Maliki mengatakan bahwa tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling, tetapi boleh melafalkan dengan membaca mau­pun tidak, atau sentuhannya dengan aling-aling dan membawanya demi menjaganya. Hambali mengatakan bahwa boleh menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan aling-aling. Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menyentuh kulitnya, walau ia terpisah de­ngan isinya, juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masih melekat dengan Al-Qur’an, tetapi boleh menulisnya dan memba­wanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Hanafi mengatakan tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walau ditulis dengan bahasa asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai Al-Qur’an. Imamiyah mengatakan bahwa diharamkan menyentuh Al-Qur’an bertuliskan huruf Arab tanpa aling-aling (alas), baik tulisan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun tidak, tetapi tidak diharamkan membaca dan menulis, membawa demi menjaganya dan menyentuh tulisan selain tulisan Arab, kecuali kata “Allah”, maka diharamkan bagi orang yang berhadas menyentuhnya dalam bentuk tulisan apapun juga, dengan bahasa apapun dan dimana saja, baik yang ada di Al-Qur’an maupun bukan.

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, dapat ditegaskan bahwa semua shalat harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadats kecil dan hadats besar. Tak terkecuali shalat jenazah. Apabila shalat janazah dalam keadaan hadas kecil alias tidak punya wudhu, maka shalatnya tidak sah. Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama fiqih.

Memang ada pendapat dhaif (lemah) yang membolehkan shalat jenazah tanpa wudhu dan tayammum yaitu pendapat Syukbi dan Muhammad At-Tabari seperti dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’: Asy-Syukbi dan Muhammad bin Jarir At-Tabari berkata: Boleh melakukan shalat jenazah tanpa bersuci walaupun mungkin untuk berwudhu atau tayammum karena shalat jenazah itu seperti do'a. Pengarang kitab Al Hawi dan lainnya berkata pendapat As-Sya'bi ini adalah pendapat yang bertentangan dengan ijmak dan jangan dianggap.

Semua ulama sepakat bahwa haram shalat tanpa bersuci baik dengan air atau debu, dan tidak ada bedanya antara shalat wajib, shalat sunnah, sujud tilawah, sujud syukur dan shalat jenazah kecuali qaul yang diceritakan dari Imam As-Sya'bi dan Muhammad ibn Jarir at-Thabari bahwa keduanya memperbolehkan shalat jenazah dalam keadaan tidak suci ,dan ini adalah pendapat yang bathil yang berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama.

Alasan mereka (Imam As-Sya'bi dan Muhammad ibn Jarir at-Thabari) adalah bahwa shalat jenazah bukanlah shalat syar'iyah (karena tidak ada ruku' dan sujudnya) dan ia hanyalah sebuah doa dan istighfar oleh karena itu boleh dilakukan meskipun tidak dalam keadaan suci.

Mengenai pertanyaan kedua, jawabannya adalah bahwa shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Artinya, kewajiban gugur kalau ada satu orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu, kalau Anda tidak sah shalatnya, ya tidak perlu diqadha. Tetapi kalau Anda ingin menyolatinya sedangkan mayit sudah dikubur, maka tentu saja diganti dengan shalat ghaib. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Semoga bermanfaat :)

Wasaalam.
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 12:52:00 PM

Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia

Assalamu'alaikum..

Alhamdulillah setelah lama vakum, kali ini saya kembali menuliskan sebuah risalah rubrik hukum Islam tentang Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia. Mumpung ini sedang bulan haji. Hehehehe

Benar, sangat banyak di lingkungan kita, saudara ataupun sahabat yang berqurban bukan atas namanya sendiri, melainkan atas nama orang tua, saudara atau seseorang yang telah berpulang ke rahmatullah. Apakah hukum dari amalan ini? Sah atau tidakkah qurban yang telah kita laksanakan? Apakah fadhilah dari qurban tersebut sampai kepada Almarhum/ ah ?

Sangat penting kita mengetahui hal ini, yang selalu jadi perdebatan di kalangan masyarakat kita. Mengingat hadist Rasul yang kira-kira bunyinya seperti ini :
" Apabila mati anak Adam, maka putuslah kepadanya seluruh amalannya, melaikan tiga perkara, yaitu harta yang diinfaqkan, ilmu yang diajarkan dan doa anak yang shaleh"

Untuk itu, mari sama--sama kita sisihkan waktu untuk membaca artikel Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia ini yang saya kemas dalam sesi tanya jawab dengan Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P,MA.

Pertanyaan: 

Assalamu’alaikum ustadz… Saya mau bertanya tentang bagaimana hukum seseorang yang berkurban atas nama orang (keluarga) yang sudah meninggal dunia. Mohon penjelasan ustadz, terima kasih… dari Fitri di Simalingkar 

Jawaban: 

Sebagian umat muslim, ketika menyembelih ternak kurban pada saat Idul Adlha itu ada yang berniat kurban untuk dirinya, untuk isterinya, atau untuk anak-anaknya yang semuanya masih hidup. Namun banyak juga dari mereka yang berniat kurban untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan tentang sah atau tidaknya. 

Sehubungan dengan hal tersebut agar warga kita lebih mantap dalam melaksanakan ibadah kurbannya, perlu diberi penjelasan bahwa memang ada ulama yang mengesahkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal yaitu Imam Rofi’i. Keterangan hukum demikian ini bisa dipahami dari keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255: “Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berkurban untuk orang lain yang masih hidup tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah juga berkurban untuk mayit, apabila tidak berwasiat untuk dikurbani. Sementara itu Imam Rafi’i berpendapat boleh dan sah berkurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah satu jenis shadaqah”. 

Ada khilafiyah mengenai hukum berqurban bagi orang yang sudah meninggal (al-tadh-hiyyah ‘an al-mayyit). Ada tiga pendapat. 

Pertama, hukumnya boleh baik ada wasiat atau tidak dari orang yang sudah meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Hanafi, Hambali, dan sebagian ahli hadis seperti Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi

Kedua, hukumnya makruh. Ini pendapat ulama mazhab Maliki. 

Ketiga, hukumnya Haram ( tidak boleh ), kecuali ada wasiat sebelumnya dari orang yang meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Syafi’i

Pada asalnya, kurban disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada dasarnya. Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk. 

Pertama, menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi saw., untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih yang berbunyi: 

Aku menyaksikan bersama Nabi saw., shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata: “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih). Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari umatnya. 

Kedua, menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah: 

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS. Al-Baqarah: 181) 

Dr. Abdullah Ath-Thayaar berkata: “Adapun kurban bagi mayit yang merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena perintah menunaikan wasiat” 

Ketiga, menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang hidup) maka inipun dibolehkan. Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata: “Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang lainnya di kuburan” 

Akan tetapi, saya tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi saw, tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang yang telah meninggal. Beliau tidak menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi saw., tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal di masa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putra yang masih kecil. Nabi saw., juga tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal. 

Kesimpulannya, hukum asal berkurban adalah untuk orang yang hidup, sebagaimana yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya bahwa mereka berkurban untuk diri mereka dan keluarga. Menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal, bukan sebagai wasiat bukan pula mengikuti orang yang masih hidup, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkannya dan sebagian lagi menganggapnya tidak boleh.  Jelasnya, jika kita ingin menyampaikan fadhilah dari qurban kepada saudara kita yang telah tiada, maka 3 landasan di ataslah yang bisa menjadi pedoman kita.

Wallahu a’lam bi ash-showab.
Semoga bermanfaat :)
wassalam

Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 10:28:00 AM

Muhammad Adalah Manusia Pertama ( ISU )

Assalamu'alaikum,
Smoga saudara-saudaraku sekalian senantiasa dalam keadaan sehat dan baik hatinya, baik akalnya seta paling utama baik imannya, Aminnn.
Tak lupa kerna ini masih bulan syawal penulis ucapkan Minal'aidzin walfaidzin kepada shahib saya semua, smoga kita benar-benar menjadi hambanya yang Taqwa.

Dalam kesempatan ini , serta ucapan terimakasih saya kepada abanganda Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P., MA yang telah memberi saya amanah untuk mempublikasikan sebuah rubrik hukum Islam yang sangat luar biasa menurut saya. Ialah tentang Isu bahwa Nabi Muhammad SAW Adalah Manusia Pertama yang beredar di kalangan masyarakat yang dipicu oleh beberapa pendapat. Kerna itu penulis mengangkat judul Muhammad Adalah Manusia Pertama ( ISU ) yang dikemas dalam sesi tanya jawab. Selamat membaca. 

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz,… Benarkah bahwa Nabi Muhammad saw. makhluk Allah yang pertama dan bahwa beliau diciptakan dari cahaya? Kami mengharapkan pendapat yang disertai dalil-dalil dari Alquran dan As-Sunnah. Terima kasih ustadz atas jawabannya. Dari Mustofa di Medan

Jawab:
Bapak/Saudara Mustofa yang dirahmati Allah, telah diketahui bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa makhluk pertama adalah itu atau ini ... dan seterusnya, tidak satu pun yang shahih, sebagaimana ditetapkan oleh para ulama Sunnah. Oleh karena itu, kami dapatkan sebagian bertentangan dengan sebagian lainnya. Sebuah hadis mengatakan, "Bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah pena."

Hadis lainnya mengatakan, “Aku ini telah menjadi Nabi ketika Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad”. Hal ini juga didukung oleh hadis yang mengatakan bahwa: "Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal." Telah tersiar di antara orang awam dari kisah-kisah maulid yang sering dibaca bahwa Allah menggenggam cahaya-Nya, lalu berfirman, "Jadilah engkau Muhammad." Maka ia adalah makhluk yang pertama kali diciptakan Allah, dan dari situ diciptakan langit, bumi dan seterusnya. 

Dari itu tersiar kalimat: "Shalawat dan salam bagimu wahai makhluk Allah yang pertama," hingga kalimat itu dikaitkan dengan adzan yang disyariatkan, seakan-akan bagian darinya. Perkataan itu tidak sah riwayatnya dan tidak dibenarkan oleh akal, tidak akan mengangkat agama, dan tidak pula bermanfaat bagi perkembangan dari peradaban dunia.

Keawalan Nabi Muhammad saw. sebagai makhluk Allah tidak terbukti, seandainya terbukti tidaklah berpengaruh pada keutamaan dan kedudukannya di sisi Allah. Tatkala Allah Ta'ala memujinya dalam Kitab-Nya, maka Allah memujinya dengan alasan keutamaaan yang sebenarnya. Allah berfirman: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar orang yang berbudi pekerti agung" (QS. Al-Qalam: 4).

Hal itu yang terbukti dan ditetapkan secara mutawatir. Nabi kita Muhammad saw. adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib Al-Hasyimi Al-Quraisy yang dilahirkan lantaran kedua orang tuanya, Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah binti Wahb, di Mekkah, pada tahun Gajah. Beliau dilahirkan sebagaimana halnya manusia biasa dan dibesarkan sebagaimana manusia dibesarkan. Beliau diutus sebagaimana para Nabi dan Rasul sebelumnya diutus, dan bukan Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul.

Beliau hidup dalam waktu terbatas, kemudian Allah memanggilnya kembali kepada-Nya: "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)." (QS. Az-Zumar: 30). Beliau akan ditanya pada hari Kiamat, sebagaimana para Rasul ditanya: "(Ingatlah) hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), 'Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?' Para Rasul menjawab, 'Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu) sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang gaib'." (QS. Al-Maidah: 109).

Alquran telah menegaskan kemanusiaan Muhammad saw. di berbagai tempat dan Allah memerintahkan menyampaikan hal itu kepada orang-orang dalam berbagai surat, antara lain: "Katakanlah, 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukann kepadaku, Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa ...'." (QS. Al-Kahfi: 110)."Katakanlah, 'Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?'" (QS. Al-Isra': 93).

Ayat di atas menunjukkan bahwa beliau adalah manusia seperti manusia-manusia lainnya, tidak memiliki keistimewaan, kecuali dengan wahyu dan risalah. Nabi saw. menegaskan makna kemanusiaannya dan penghambaannya terhadap Allah, dan memperingatkan agar tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan dari orang-orang sebelum kita, yaitu penganut agama-agama terdahulu dalam hal memuja dan menyanjung: "Janganlah kamu sekalian menyanjungku sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa putra Maryam. sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari).

Nabi yang agung ini adalah manusia seperti manusia lainnya dan tidak diciptakan dari cahaya maupun emas, tetapi diciptakan dari air yang memancar dan keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang rusuk wanita sebagai bahan penciptaan Muhammad saw. Adapun dari segi risalah dan hidayat-Nya, maka beliau adalah cahaya Allah dan pelita yang amat terang. Alquran menyatakan hal itu dan berbicara kepada Nabi saw.: "Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan. Untuk menjadi penyeru pada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi."(QS. Al-Ahzab: 45-6).

Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Ahlul kitab: "... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan." (QS. Al-Maidah: 15). "Cahaya" dalam ayat itu adalah Rasulullah saw, sebagaimana Alquran yang diturunkan kepada beliau adalah juga cahaya. Allah swt. berfirman: "Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta cahanya (Alquran) yang telah Kami turunkan." (QS. At-Taghaabun: 8). "... dan telah Kami turunkan kepada kamu cahaya yang terangbenderang." (QS. An-Nisa': 174). Allah telah menentukan tugasnya dengan firman-Nya: "... Supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang..." (QS. Ibrahim: 1).

Doa Nabi saw.: "Ya Allah, berilah aku cahaya di dalam hatiku berilah aku cahaya dalam pendengaranku dan berilah aku cahaya dalam penglihatanku berilah aku cahaya dalam rambutku berilah aku cahaya di sebelah kanan dan kiriku di depan dan di belakangku." (HR. Muttafaq Alaih). Maka, beliau adalah Nabi pembawa cahaya dan Rasul pembawa hidayat. 


Dari uraian pendapat dan dalil yang telah disuguhkan di atas, telah jelaslah Isu tentang Muhammad Adalah Manusia Pertama merupakan ISU belaka yang tiada dalil jyang shahih sebagai pendukungnya. Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang mengikuti petunjuk cahaya dan Sunnahnya. Aminn

Wassalam..
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 1:44:00 AM

Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri

Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu,
Semoga saudara-saudaraku sekalian dalam keadaan sehat dan baik hatinya, teguh imannya dan baik budinya...,

Dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat sebuah rubrik atau fenomena yang sangat banyak ditanyakan oleh kita. Ialah tentang Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Sebelumnya mari kita perhatikan hadist Rasulullah berikut :

Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” 
[HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]

Akikah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa akikah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan.

Secara umum pelaksanaan aqiqah dibebankan kepada ayah dari anak yang baru dilahirkan. Secara hukum aqiqah adalah sunnah muakkad sebagaimana hadist tersebut di atas.

Kembali kepada masalah yang kita bahas kali ini, dari uraian di atas, bagaimana sebenarnya Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri menurut acuan Al-Quran dan Hadist?
Alhamdulillah dengan cukup melibatkan beberapa pendapat para ulama yang diangkat dalam dialaog tanya jawab antara jamaah, penulis mendapatkan catatan dari narasumber (Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P, Ma) yang mengkin bisa menjadi pertimbangan dan pandangan untuk kita dalam masalah Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Mari kita baca dan pahami dialog berikut :

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz,... saya ingin bertanya tentang hukum orang akikah untuk dirinya sendiri... mohon penjelasan ustadz beserta dengan dalil-dalilnya dari Alquran dan Hadis... terima kasih ustadz sebelumnya. Dari Rizqi di Tebing Tinggi.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudari yang cukup umum dan terjadi di masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan saudari, berikut saya uraikan beberapa hal antara lain:

Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya. Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah baligh. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.

Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian baligh dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri. 

Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak). Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.” Sementara menurut pendapat kami, akikah disyariatkan untuk dilakukan bapak. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu menggantikannya….” (Al-Mughni, 9:364)

Ibnul Qayim mengatakan, “Bab, hukum untuk orang yang belum diakikahi bapaknya, apakah dia boleh mengakikahi diri sendiri setelah balig?” Al-Khalal mengatakan, “Anjuran bagi orang yang belum diakikahi di waktu kecil, agar mengakikahi diri sendiri setelah dewasa.” Kemudian ia menyebutkan kumpulan tanya jawab dengan Imam Ahmad dari Ismail bin Sa’id Al-Syalinji, ia mengatakan, “Saya bertanya kepada Ahmad tentang orang yang diberi tahu bapaknya bahwa dia belum diakikahi. Bolehkah mengakikahi diri sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Itu adalah kewajiban bapak.” 

Dalam kitab Al-Masail karya Al-Maimuni, ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahi, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan. Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika belum diakikahi waktu kecil agar melakukan akikah setelah dewasa. Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya.”

Abdul Malik pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah dia berakikah ketika dewasa?” Ia menjawab, “Saya belum pernah mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” Abdul Malik bertanya lagi, “Dulu bapaknya tidak punya, kemudian setelah kaya, dia tidak ingin membiarkan anaknya sampai dia akikahi?” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu. Saya belum mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” kemudian Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” (Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88)

Setelah membawakan keterangan di atas, Syekh Abdul Aziz menjelaskan, “Pendapat pertama yang lebih utama, yaitu dianjurkan untuk melakukan akikah untuk diri sendiri. Karena akikah sunah yang sangat ditekankan. Bilamana orang tua anak tidak melaksanakannya, disyariatkan untuk melaksanakan akikah tersebut jika telah mampu. Ini berdasarkan keumuman banyak hadis, diantaranya, sabda Nabi saw: “Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub ra., dengan sanad yang shahih.

Termasuk juga hadis Ummu Kurzin, bahwa Nabi saw., memerintahkan untuk memberikan akikah bagi anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah. Demikian pula Tirmudzi meriwayatkan yang semisal dari Aisyah. Dan ini tidak hanya ditujukan kepada bapak, sehingga mencakup anak, ibu, atau yang lainnya, yang masih kerabat bayi tersebut.”

Jika diteliti keterangan di atas, maka terjadi perbedaan pendapat. Namun dalam hal ini saya lebih cenderung untuk mengamalkan pendapat yang disampaikan oleh Imam Ahmad yang pada intinya menyatakan bahwa akikah untuk diri sendiri tidak memiliki dasar yang jelas secara tekstual dalam Alquran dan Hadis. Oleh karena itu, kewajiban akikah memang ditangan orangtua khususnya bapak, bukan anak. 
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wassalaamu'alaikum :)
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 10:49:00 PM

Sujud Sajadah Dan Cara Melaksanakannya


Assalaamu'alikum warohmatulloohi wabarokatu.....,

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyajikan suatu hal yang mungkin jarang kita laksanakan atau bahkan kita belum tahu tentang perkara tersebut. Ialah dia adalah Sujud Sajadah. Tulisan ini dikutip dari catatan Abangandan Dr. Fuji Rahmadi, MA dalam suatu kesempatan ceramah yang  membahas Rubrik Hukum Islam Tentang Sujud Sajadah yang disajikan dalam bentuk tanya jawab.


Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum ustadz... Saya ingin bertanya tentang hukum sujud sajadah, bacaan, dan tatacara melakukannya dalam aturan fikih. Mohon agar ustadz bisa menjelaskannya secara rinci dan jelas. Terima kasih ustadz. Dari: Bu Erniati Medan

Jawaban:

Sujud sajadah atau sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan setelah membaca salah satu ayat-ayat sajadah dalam Aquran ketika sholat ataupun di luar sholat. Orang yang mendengar juga dituntut sujud apabila mendengar ayat sajadah. Ini bermaksud, orang yang dituntut sujud ialah orang yang membaca ayat sajadah dalam sholat, orang yang membacanya di luar sholat, orang yang mendengar tidak dalam sholat dan tidak membaca. Ketiga-tiga keadaan ini dituntut sujud tilawah.

Jika seseorang itu membaca Alquran bersendirian dan sampai pada ayat sajadah hendaklah dia sujud. Manakala jika seorang imam membaca ayat sajadah lalu apabila sampai pada ayat sajadah dia pun sujud, maka wajib bagi makmum mengikut imam dalam sujud.

Dalam tertib sujud disunatkan bertakbir sebelum sujud dengan tidak mengangkat kedua tangan dan hendaklah memelihara adab ketika sujud seperti mana sujud dalam sholat. Bacaan yang disunatkan dalam sujud sajadah ialah 

Allahumma laka sajdtu wa bika aamantu, wa laka aslamtu, sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wa sawwarahu, wa syaqqa sam'ahu wa basharahu wa quwwatihi, fa tabarakallahu ahsana al-Khaliqin 

Artinya : 

(Wahai Tuhan, kepada-Mu jualah aku sujud, dengan-Mu jualah aku beriman dan kepada-Mu lah aku berserah, telah sujud wajahku kepada yang telah menciptanya, yang telah memberi rupa baginya dan telah memberi pendengaran dan penglihatan dengan kehendak-Nya dan dengan kekuatan-Nya, Tuhan yang penuh limpah keberkatan-Nya telah menjadikan manusia dengan sebaik-baik kejadian). 



Setelah itu, takbir kembali untuk bangkit dari sujud

Adapun syarat sujud bagi mereka yang di luar sholat adalah:
  1.  Suci dari hadas kecil dan hadas besar; 
  2. Menutup aurat; 
  3. Berniat untuk sujud sajadah;
  4. Menghadap kiblat; 
  5. Takbiratul ihram dan takbir bagi sujud;
  6. Memberi salam. 

Sekiranya terdapat halangan yang menyebabkan seseorang itu tidak dapat sujud, seperti berhadas kecil, dalam kenderaan atau mendengarnya dari corong masjid, maka diharuskan mengucapkan: Subhanallahi walhamdulillahi, wa laa Ilaha illahi, wallahu akbar. 

Dalil tentang sujud sajadah sebagian besar adalah hadis Nabi saw., diantaranya: \

Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah saw., telah bersabda; Apabila anak Adam membaca ayat Sajadah, lalu dia sujud; maka syaitan jatuh sambil menangis. Katanya, "kecelakaan ke atas aku! Anak Adam disuruh sujud, maka dia sujud, lalu mendapat syurga. Aku disuruh sujud, tetapi aku menolak maka untukku neraka.
[HR. Bukhari dan Muslim] 

Ibnu Umar meriwayatkan; Bahwa Nabi saw., pernah membaca Alquran. Lalu beliau membaca sebuah surah yang ada ayat sajadahnya. Beliau lantas sujud dan kami juga sujud mengikuti beliau sampai-sampai beberapa di antara kami tidak mendapatkan tempat sujud bagi keningnya (karena banyaknya sahabat yang hadir). 
[HR. Muslim]

Menurut mazhab Al-Syafi’iyyah, hukum sujud sajadah adalah sunat muakkad, atau sunat yang amat digalakkan. Sementara mazhab Al-Hanafiyyah mewajibkan sujud sajadah. Ini didasarkan pada hadis dari Umar ra.,: 

Pada suatu hari Jumat, dia (Rasulullah) membaca surah al-Nahl di atas mimbar, maka ketika sampai pada ayat Sajadah, dia lalu turun dan sujud. Dan para hadirin juga turut melakukan sujud. Pada hari Jumaat berikutnya, dibacanya surah berkenaan, lalu apabila sampai pada ayat Sajadah dia berkata: Wahai manusia, sebenarnya kita tidak diperintahkan (diwajibkan) sujud tilawah/sujud sajadah. Tetapi barang siapa bersujud, dia telah melakukan yang benar. Dan barang siapa yang tidak melakukannya, maka dia tidak mendapat dosa.
[HR. Bukhari dan Muslim] 

Ayat-ayat sajadah dalam Alquran antara lain : 
  • Surah Al-A’Raaf: 206,
  • Surah Ar-Ra’d: 15,
  • Surah Al-Nahl: 50,
  • Surah Al-Isra’: 109,
  • Surah Maryam: 58,
  • Surah Al-Haj: 18,
  • Surah Al-Haj: 77,
  • Surah Al-Furqan: 60,
  • Surah An-Naml: 26,
  • Surah As-Sajdah: 15,
  • Surah Shaad: 24,
  • Surah Fushshilat: 38,
  • Surah An-Najm: 62,
  • Surah Al-Insyiqaq: 21,
  • Surah Al-’Alaq: 19. 

Adapun bacaan ayat dari surah Shaad ayat 24 menurut Syafi'iyah dan Hanbaliyah tidak termasuk ayat yang dituntut sujud, tetapi ayat itu adalah ayat yang disunatkan untuk sujud syukur. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah swaw., 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Shaad tidak termasuk dalam tuntut sujud (yaitu ayat 24), sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah saw., sujud padanya, lalu baginda bersabda: telah sujud Daud as dalam ayat sebagai taubat kepada Allah swt, manakala kita sujud sebagai tanda syukur kepada Allah
[HR. Bukhari]

Berkaitan dengan rutinitas imam masjid yang melakukan sujud sajadah di setiap subuh jumat, hal ini berdasarkan hadis: 

Dari Abu Hurairah r.a. yang telah memberitahu bahwa: “Rasulullah saw., akan membaca surah Alif Lam Mim dan surah al-Insan pada solat fajar pada hari Jumaat."
[HR. Bukhari].

 Dalam menjelaskan kandungan hadis ini, Ibnu Daqiq al-Aed berpendapat bahwa hadis ini tidaklah bermaksud mesti membaca kedua-dua surah itu secara berterusan. Seorang ulama yang bernama al-Qarafiy di dalam kitabnya, Fawaid al-Muhazzab menjelaskan bahwa: "Sekiranya waktu tidak mengizinkan untuk membaca surah Sajdah maka hendaklah dibaca beberapa ayat yang ada padanya sajadah." 

Setelah meneliti hadis Rasulullah saw., dan pandangan ulama dapatlah disimpulkan bahwa membaca surah Sajadah yaitu Alif Lam Mim dan surah al-Insan adalah sunat muakkad, maksudnya sunat yang dituntut. Maksudnya ibadah ini masih dalam kategori sunat, namun tidak bermaksud boleh ditinggalkan begitu saja. Dalam hal ini imam masjid mestilah memahami keadaan makmum. Rasulullah pernah mengingatkan para imam agar jangan memanjangkan bacaan karena khawatir ada di kalangan makmum yang mempunyai hajat untuk ditunaikan, mungkin juga ada orang tua yang tidak berdaya, termasuklah warga yang ingin ke tempat kerja. 

Semua ini perlu dipertimbangkan agar solat itu sempurna. Janganlah yang sunat itu diperlihatkan seperti wajib, sehingga menggangap kalau tidak baca surah Sajadah, tidak sah solat Subuh pagi Jumaat. Ini sudah bertentangan dengan syariat Rasulullah saw, baginda hanya menunjukkan yang terbaik, ini bermaksud siapa yang ada kemampuan dan ada waktu serta kelapangan lebih baik melakukan yang sempurna, tetapi kalau ada hambatan lakukanlah yang mampu, asalkan yang wajib tidak ditinggalkan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga bermanfaat untuk kita semua..,
wassalaaamu'alaikum :) 


Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 4:31:00 PM

Apa Hukum Cat, Mewarnai atau Menyemir Rambut?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu,

Semoga keselamatan dan keberkahan dari Allah atas mu saudara-saudaraku seiman.

Dimulakan dengan firman Allah :
Bismillaahirrohmaanirrohiim,

"Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."
Q.S Al-Ashr 103 :1-3

Seiring berjalannya waktu yang telah kita lalui..., bertambah banyaklah pula jalan yang telah ditempuh. Seiring perjalanan masa yang telah kita tempuh kan telah banyak pula cerita dan pengalaman yang telah diukir dalam sejarah hidup.Dan sejauh manusia berjalan sejauh itu pulalah semua isi dari catatan amalannya di dunia. Badan yang telah diamanahkan padanya..., kaki yang menopangnya, tangan yang membantunya untuk menggenggam, mata sebagai nahkoda hidup dan sebagainya kan jadi saksi dari tiap catatan yang telah dituliskan.
Juga, sejauh bertambahnya usia, badan yang dulu lucu, lembut, cantik dan kencang berubah menjadi keriput seiring berkurangnya produksi sel-sel dan hormon dalam tubuhnya.

Dalam hal ini saya akan mengangkat sebuah sesi tanya jawab seputar islami dalam hal rambut yang berubah  warna karena perjalanan masa.

Pertanyaan: 

Assalamu'alaikum ustadz yang dirahmati Allah. Terima kasih atas jawaban ustadz untuk pertanyaan, sekalian juga saya mau bertanya bagaimana hukum mengecat (semir) rambut dalam Islam ustadz,.. Terima kasih ustadz... Ir. H. P. Mulia Siregar 

Jawaban: 

Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun Rasulullah saw. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan: 

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.” 
(HR. Bukhari) 

Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas. 

Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya. Untuk itu, maka bersabdalah Nabi: 

“Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” 
(HR. Muslim) 

Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini az-Zuhri pernah berkata: “Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut.” Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain. 

Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna hitam kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda. Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan: 

“Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.” 
(HR. Tirmizi dan Ashabussunan) 

Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan. Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja. 

Dari Jabir ra., dia berkata: ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah saw., bersabda: “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” 
(HR. Muslim). 

Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”. Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah saw.,: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat yang menurut saya lebih baik untuk diamalkan. 

Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram. Wallahu a’lam bi as- showab.

Terimakasih penulis haturkan kepada abanganda Ustadz Dr. fuji Rahmadi, MA yang merupakan narasumber dalam tulisan ini. Semoga beliau selalu dalam lindungan Allah,

Smoga bermanfaat
Wassalaamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu.


Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 5:54:00 PM
Home

Terpopuler