Selamat membaca
Fiqih
semoga bermanfaat

Al-kautsar an islamic side adalah blog tentang risalah/artikel islam dan aplikasi islami

Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

Sumpah Dalam Islam (Dalil dan Konsekuensinya)


Assalamu'alaikum warohmatullooohi wabarokatu.
Saudara-saudaraku sekalian. Semoga kamu semua dalam keadaan sehat dan dalam ridhoNya. Amiin.


Dah lama tak nulis, kali ini saya coba mengangkat hal yang cukup tenar dalam kehidupan sehari-hari kita. Ialah SUMPAH. Pilih-pilih dan mikir-mikir akhirnya saya putuskan memberi judul posting ini sebagai Sumpah Dalam Islam (Dalil dan Konsekuensinya). Jadi duduk manis dan bukakan hati untuk menerima hidayahNya. Hehehe :)

Sebelumnya kita bahas dulu tentang arti sumpah itu. Secara bahasa أقسام merupakan bentuk plural dari kata قسم (qasam) yang berarti sumpah yang memiliki dua makna dasar, yaitu indah dan baik, serta bermakna membagi sesuatu. Menurut pengertian syara’ yaitu menahkikkan atau menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah S WT, seperti; walLahi, bilLahi, talLahi. Secara etimologis arti sumpah yaitu: 

  • Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah SWT untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan. 
  • Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu menguatkan kebenarannya atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar.
  • Janji atau ikrar yang teguhakan menunaikan sesuatu.
Dalam Islam, Allah berfirman dalam Al-quran tentang sumpah. Dalam Hal ini ada beberapa bagian yang perlu kita perhatikan dan inilah yang menjadi isi utama postingan ini.

Hukum Sumpah
Dalam perkara hukum, ada beberapa pendapat para ulama yang diungkapkan dengan dasar pikiran dan dalil dasarnya. 
  • Wajib. Jika sumpahnya bertujuan untuk menyelamatkan atau menghindarkan dirinya atau muslim lainnya dari kebinasaan. 
  • Sunnah. Jika sumpahnya bertujuan untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai atau untuk menghilangkan kedengkian dari seseorang atau untuk menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan.
  • Mubah. Misalnya dia bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu amalan yang hukumnya mubah.
  • Makruh. Jika dia bersumpah untuk melakukan hal yang makruh atau meninggalkan amalan yang sunnah. Misalnya sumpah dalam jual beli karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
                                                                                                                        الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
         “Sumpah itu memang bisa melariskan dagangan akan tetapi menghapuskan berkahnya.” (HR. Al- Bukhari no. 1945)
  • Haram. Bersumpah untuk suatu kedustaan atau dia berdusta dalam sumpahnya. Termasuk juga di dalamnya bersumpah dengan selain nama dan sifat Allah, karena itu adalah kesyirikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda dalam hadits Ibnu Umar:
                                                                                                                            مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
           “Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 2829 dan At-Tirmizi no. 1455). Termasuk di dalam kesyirikan ini adalah bersumpah dengan menggunakan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.


Pembagian Sumpah
Dalam quran, Allah membagikan sumpah dalam 3 bagian, yaitu :

Sumpah yang bersungguh-sungguh,yaitu pernyataan sumpah yang dilakukan seseorang dengan dikuatkan dengan kesungguhan hati dan sumpah main-main,yaitu sumpah yang diikrarkan seseorang tanpa kesungguhan hati . Allah berfirman :

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[1]. "

[Q.S Al-Baqoroh 2 : 225]
[1]. Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa. 

Jenis ketiga adalah Sumpah Palsu, ialah sumpah yang diikrarkan oleh seseorang dengan mengisyaratkan kesungguhan hati semata-mata untuk memperkuat pernyataan saja tanpa memikirkan tentang kebenarannya. Ini adalah hal yang harus kita hindarkan. Allah berfirman :

"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih"
[Q.S Al-Imran 3 : 77]

"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu." Mereka membinasakan diri mereka sendiri[2] dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. "
[Q.S At-Taubah 9:42]
[2]. Maksudnya mereka akan binasa disebabkan sumpah mereka yang palsu. 
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui."
[Q.S Al-Mujadilah 58 : 14]

Dari firman-firman Allah di atas, telah jelas Allah menegaskan jika sumpah palsu itu adalah sesuatu yang amat dibenciNya, maka hendaklah kita saudaraku menghindarkan perbuatan semacam itu.

Sumpah Yang Gugur
Sumpah, juga bisa gugur. Ialah sumpah-sumpah yang berikrarkan sesuatu yang tidak dalam kebaikan. Seperti bersumpah untuk memutuskan silaturrahmi.
Allah berfirman :

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[3], "
[Q.S An-Nur 24 : 22]
[3]. Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu. 


"Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia[4]. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
[Q.S Al-Baqoroh 2 :224]
[4]. Maksudnya: melarang bersumpah dengan mempergunakan nama Allah untuk tidak mengerjakan yang baik, seperti: demi Allah, saya tidak akan membantu anak yatim. Tetapi apabila sumpah itu telah terucapkan, haruslah dilanggar dengan membayar kafarat.

“Demi Allah, sungguh, orang yang berkeras hati untuk tetap melaksanakan sumpahnya, padahal sumpah tersebut dapat membahayakan keluarganya, maka dosanya lebih besar di sisi Allah daripada dia membayar kaffarah yang diwajibkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 6625 dan Muslim no. 1655)
Barangsiapa yang mau bersumpah maka hendaknya dia bersumpah dengan nama Allah atau dia diam saja.” (HR. Al-Bukhari no. 2482 dan Muslim no. 3105)

Konsekuensi / Kaffarat dari pelanggaran sumpah.

Dalam hal konsekuensi, ada dua sisi yang akan kita pandang disini. Dari sudut pandang manfaat, dengan menyertakan pernyataannya dengan sumpah secara lahirnya pernyataannya akan semakin kuat. Kebenaran dari pernyataannya akan lebih diyakini. Tapi sebaliknya jika dipandang dari sisi kaffarat ( jika ia melanggar sumpahnya ) maka ia akan memiliki kewajiban untuk menebusnya.

“Barangsiapa yang bersumpah kemudian dia melihat selainnya lebih baik daripada apa yang dia bersumpah atasnya maka hendaklah dia melakukan hal yang lain itu dan dia membayar kafarah atas (pembatalan) sumpahnya”. (HR. Muslim no. 1649)

Allah berfirman :

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)."
[Q.S Al-Maidah 5 : 89]

Demikian tentang sumpah yang dapat saya tuliskan. Sekali lagi saya menekankan kepada saudaraku sekalian. Berhati-hatilah dalam bersumpah. Bersumpahlah dengan nama Allah untuk kebaikan, kebenaran dan untuk mencapaai ridhoNya.
Semoga tulisan inni bermanfaat untuk kita semua.
Wassalam :)





Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 8:51:00 AM

Shalat Jenazah Tanpa Berwudhu'

Assalamu'alaikum....,
Alhamdulillah, semoga sahabat2 dan saidaraku sekalian senantiasa dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindunganNya. Amin

Pada kesempatan ini , saya akan mengangkat perkara yang sebenarnya sangat jarang terpikirkan oleh kita, ialah Shalat Jenazah Tanpa Berwudhu'. Bagaimana pun secara spontan jika kita hendak shalat pasti sewajarnya kita berwudhu' terlebih dahulu kare ia merupakan syarat syah shalat. Tapi yang namanya manusia yang memiliki sifat baharu dan lupa. Terjadi pada kasus berikut yang saya kemas dengan sesi tanya jawab. Dapat di pengajian soalnya, trus minta catatan ustadznya. Heheheh


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustadz, saya mau bertanya tentang dua hal. Pertama, bagaimana hukum Islam memandang orang yang melaksanakan shalat jenazah tanpa berwudhu’ terlebih dahulu? Kedua, bagaimana ketika kita sudah melaksanakan shalat jenazah kemudian kita baru ingat bahwa kita telah batal wudhu’ sedangkan si mayyit sudah dimakamkan, apakah diganti dengan shalat ghaib atau bagaimana ustadz? Terima kasih, dari Hendra – di Medan


Jawaban:

Para ulama fiqih berpendapat bahwa hadas itu dibagi menjadi dua bagian, Pertama: Hadas kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhu saja. Kedua: Hadas besar, yang kedua ini pun dibagi dua: Ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan. Orang yang berhadas kecil dilarang melakukan beberapa hal:

Pertama, Shalat, baik sunnah maupun wajib, menurut kesepakatan semua ulama. Hanya Imamiyah berpendapat lain tentang shalat jenazah. Bagi Imamiyah, dalam shalat jenazah tidak diwajibkan berwuddhu, hanya disunnahkan saja, karena ia hanya mendo’akan saja pada dasarnya, bukan shalat yang sebenarnya. Semua yang dinamakan shalat tidak boleh dilakukan tanpa wudhu walaupun sujud tilawah atau shalat janazah, sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR. Muslim)

Kedua, Thawaf, ia seperti shalat, maksudnya tidak sah melakukan thawaf tanpa berwudhu terlebih dahulu, begitulah menurut Maliki, Syafi’i, Imamiyah dan Hambali berdasarkan hadis: “Berthawaf di Baitullah adalah shalat”. Hanafi mengatakan bahwa barangsiapa yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan hadas, ia tetap sah, sekalipun berdosa. Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)

Ketiga, Sujud tilawah dan sujud syukur juga wajib suci (berwudhu), me­nurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah hanya disunnahkan. Kelima, Menyentuh mushaf. Semua Mazhab sepakat bahwa tidak boleh menyentuh tulisan Al-Qur’an kecuali suci. Hanya mereka berbeda pendapat tentang orang yang berhadas kecil, apakah ia boleh menulis Al-Qur’an dan membacanya, baik ada Al-Qur’an-nya maupun tidak ada, dan menyentuhnya dengan aling-aling serta membawanya demi menjaganya. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci. Allah swt., berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (al-Waqi’ah: 77)

Dibolehkan membawa atau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu berupa barang atau tafsir/terjemahan yang kalimatnya lebih banyak dari isi al-Qur’an. Barang siapa yang ragu apakah ia masih menyimpan wudhu atau tidak maka hendaknya ia bepegang kepada keyakinnya, sesuai dengan hadist Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Apabila seseorang dari kalian merasa sesuatu di dalam perutnya, yaitu ragu-ragu apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudhu) hingga ia dengar suara atau ia merasakan angin (bau).” (HR Muslim)

Maliki mengatakan bahwa tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling, tetapi boleh melafalkan dengan membaca mau­pun tidak, atau sentuhannya dengan aling-aling dan membawanya demi menjaganya. Hambali mengatakan bahwa boleh menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan aling-aling. Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menyentuh kulitnya, walau ia terpisah de­ngan isinya, juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masih melekat dengan Al-Qur’an, tetapi boleh menulisnya dan memba­wanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Hanafi mengatakan tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walau ditulis dengan bahasa asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai Al-Qur’an. Imamiyah mengatakan bahwa diharamkan menyentuh Al-Qur’an bertuliskan huruf Arab tanpa aling-aling (alas), baik tulisan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun tidak, tetapi tidak diharamkan membaca dan menulis, membawa demi menjaganya dan menyentuh tulisan selain tulisan Arab, kecuali kata “Allah”, maka diharamkan bagi orang yang berhadas menyentuhnya dalam bentuk tulisan apapun juga, dengan bahasa apapun dan dimana saja, baik yang ada di Al-Qur’an maupun bukan.

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, dapat ditegaskan bahwa semua shalat harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadats kecil dan hadats besar. Tak terkecuali shalat jenazah. Apabila shalat janazah dalam keadaan hadas kecil alias tidak punya wudhu, maka shalatnya tidak sah. Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama fiqih.

Memang ada pendapat dhaif (lemah) yang membolehkan shalat jenazah tanpa wudhu dan tayammum yaitu pendapat Syukbi dan Muhammad At-Tabari seperti dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’: Asy-Syukbi dan Muhammad bin Jarir At-Tabari berkata: Boleh melakukan shalat jenazah tanpa bersuci walaupun mungkin untuk berwudhu atau tayammum karena shalat jenazah itu seperti do'a. Pengarang kitab Al Hawi dan lainnya berkata pendapat As-Sya'bi ini adalah pendapat yang bertentangan dengan ijmak dan jangan dianggap.

Semua ulama sepakat bahwa haram shalat tanpa bersuci baik dengan air atau debu, dan tidak ada bedanya antara shalat wajib, shalat sunnah, sujud tilawah, sujud syukur dan shalat jenazah kecuali qaul yang diceritakan dari Imam As-Sya'bi dan Muhammad ibn Jarir at-Thabari bahwa keduanya memperbolehkan shalat jenazah dalam keadaan tidak suci ,dan ini adalah pendapat yang bathil yang berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama.

Alasan mereka (Imam As-Sya'bi dan Muhammad ibn Jarir at-Thabari) adalah bahwa shalat jenazah bukanlah shalat syar'iyah (karena tidak ada ruku' dan sujudnya) dan ia hanyalah sebuah doa dan istighfar oleh karena itu boleh dilakukan meskipun tidak dalam keadaan suci.

Mengenai pertanyaan kedua, jawabannya adalah bahwa shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Artinya, kewajiban gugur kalau ada satu orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu, kalau Anda tidak sah shalatnya, ya tidak perlu diqadha. Tetapi kalau Anda ingin menyolatinya sedangkan mayit sudah dikubur, maka tentu saja diganti dengan shalat ghaib. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Semoga bermanfaat :)

Wasaalam.
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 12:52:00 PM

Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia

Assalamu'alaikum..

Alhamdulillah setelah lama vakum, kali ini saya kembali menuliskan sebuah risalah rubrik hukum Islam tentang Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia. Mumpung ini sedang bulan haji. Hehehehe

Benar, sangat banyak di lingkungan kita, saudara ataupun sahabat yang berqurban bukan atas namanya sendiri, melainkan atas nama orang tua, saudara atau seseorang yang telah berpulang ke rahmatullah. Apakah hukum dari amalan ini? Sah atau tidakkah qurban yang telah kita laksanakan? Apakah fadhilah dari qurban tersebut sampai kepada Almarhum/ ah ?

Sangat penting kita mengetahui hal ini, yang selalu jadi perdebatan di kalangan masyarakat kita. Mengingat hadist Rasul yang kira-kira bunyinya seperti ini :
" Apabila mati anak Adam, maka putuslah kepadanya seluruh amalannya, melaikan tiga perkara, yaitu harta yang diinfaqkan, ilmu yang diajarkan dan doa anak yang shaleh"

Untuk itu, mari sama--sama kita sisihkan waktu untuk membaca artikel Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia ini yang saya kemas dalam sesi tanya jawab dengan Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P,MA.

Pertanyaan: 

Assalamu’alaikum ustadz… Saya mau bertanya tentang bagaimana hukum seseorang yang berkurban atas nama orang (keluarga) yang sudah meninggal dunia. Mohon penjelasan ustadz, terima kasih… dari Fitri di Simalingkar 

Jawaban: 

Sebagian umat muslim, ketika menyembelih ternak kurban pada saat Idul Adlha itu ada yang berniat kurban untuk dirinya, untuk isterinya, atau untuk anak-anaknya yang semuanya masih hidup. Namun banyak juga dari mereka yang berniat kurban untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan tentang sah atau tidaknya. 

Sehubungan dengan hal tersebut agar warga kita lebih mantap dalam melaksanakan ibadah kurbannya, perlu diberi penjelasan bahwa memang ada ulama yang mengesahkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal yaitu Imam Rofi’i. Keterangan hukum demikian ini bisa dipahami dari keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255: “Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berkurban untuk orang lain yang masih hidup tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah juga berkurban untuk mayit, apabila tidak berwasiat untuk dikurbani. Sementara itu Imam Rafi’i berpendapat boleh dan sah berkurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah satu jenis shadaqah”. 

Ada khilafiyah mengenai hukum berqurban bagi orang yang sudah meninggal (al-tadh-hiyyah ‘an al-mayyit). Ada tiga pendapat. 

Pertama, hukumnya boleh baik ada wasiat atau tidak dari orang yang sudah meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Hanafi, Hambali, dan sebagian ahli hadis seperti Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi

Kedua, hukumnya makruh. Ini pendapat ulama mazhab Maliki. 

Ketiga, hukumnya Haram ( tidak boleh ), kecuali ada wasiat sebelumnya dari orang yang meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Syafi’i

Pada asalnya, kurban disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada dasarnya. Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk. 

Pertama, menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi saw., untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih yang berbunyi: 

Aku menyaksikan bersama Nabi saw., shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata: “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih). Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari umatnya. 

Kedua, menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah: 

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS. Al-Baqarah: 181) 

Dr. Abdullah Ath-Thayaar berkata: “Adapun kurban bagi mayit yang merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena perintah menunaikan wasiat” 

Ketiga, menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang hidup) maka inipun dibolehkan. Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata: “Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang lainnya di kuburan” 

Akan tetapi, saya tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi saw, tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang yang telah meninggal. Beliau tidak menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi saw., tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal di masa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putra yang masih kecil. Nabi saw., juga tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal. 

Kesimpulannya, hukum asal berkurban adalah untuk orang yang hidup, sebagaimana yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya bahwa mereka berkurban untuk diri mereka dan keluarga. Menyembelih qurban bagi orang yang sudah meninggal, bukan sebagai wasiat bukan pula mengikuti orang yang masih hidup, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkannya dan sebagian lagi menganggapnya tidak boleh.  Jelasnya, jika kita ingin menyampaikan fadhilah dari qurban kepada saudara kita yang telah tiada, maka 3 landasan di ataslah yang bisa menjadi pedoman kita.

Wallahu a’lam bi ash-showab.
Semoga bermanfaat :)
wassalam

Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 10:28:00 AM

Hukum Berzakat Kepada Orang Tua Sendiri

Bismillaahirrohmaanirrohiim...,

Assalaamu'alaikum sahabat-sahabatku. Semoga kamu sekalian dalam keadaan sehat wal 'afiat dan selalu dalam rahmat Allah.

Di kesempatan ini, sambil menikmati hidangan makan siang biar cuma indomie kuah doank..., heheheh, saya sempatkan menulis risalah ini yang saya kasi judul Hukum Berzakat Kepada Orang Tua Sendiri. Hal ini merupakan sebuah Rubrik Hukum Islam yang sangat sering kita jumpai di masyarakat kita. Ada baiknya kita mengetahui tentang perkara hukumnya agar kita tiada salah dalam melangkah.

Saudaraku, menurut ulama fikih orangtua dikategorikan berada di bawah tangggungan nafkah anak, dan mereka tidak berhak mendapatkan zakat dari harta anaknya. Oleh karenanya ulama menjelaskan, selaku anak harus memperlakukan orang tuanya dengan sebaik-baiknya meskipun sudah berkeluarga atau tinggal jauh dari orang tua sendiri. 

Mazhab Imam Malik dan Syafi’i melarang pemberian zakat mal kepada orang tua yang menjadi tanggung jawabnya dalam mencukupi rezkinya (termasuk juga kelompok ini yaitu orang yang tidak berhak menerima zakat tersebut misalnya anak dan istri). Jumhur ulama juga menjelaskan ada kategori siapa saja orang-orang yang tidak boleh menerima zakat di antaranya bapak, ibu atau kakek, nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawab kita sebagai anak/menantu. Rasulullah saw., bersabda 

dari Anas bin Syu’aib: “Kamu dan hartamu itu untuk ayahmu” 
(HR. Ahmad) 

Allah SWT., menjelaskan pemberian/pendistribusian zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf (kelompok) yaitu: 

“Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 
(QS. al-Taubah/9:60). 

Berdasarkan dalil tersebut zakat ternyata memiliki pos-pos penerimaan khusus yang telah ditentukan Allah, yaitu yang disebut sebagai mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat). Selain daripada itu, mereka bukanlah termasuk mustahik. Ayat tersebut menjelaskan tidak ada pemberian zakat untuk orang tua sendiri. Hal inilah yang dijelaskan oleh Ibnu Mundzir dalam kitabnya “Al-Bahr az-Zahrar” bahwa Islam mengajarkan kepada setiap anak hendaknya berlaku baik (ihsan) dan adil kepada kedua orang tua sendiri termasuk mertua. “ 
Firman Allah :

"… dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia"
(QS. Al-Isra: 23) 

Dengan demikian, zakat hanya diberikan kepada para orang yang berhak menerimanya yaitu delapan asnaf. Sebab, secara istilah zakat berarti memberikan sebagian kekayaan untuk orang yang berhak menerimanya (mustahiq) jika sudah mencapai nisab (jumlah kekayaan minimal) dan haul (batas waktu) zakat. Zakat juga adalah harta yang kita keluarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan disalurkan kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran. Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Misalnya istri, orang tua dan anak, karena mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk memberikan nafkah kepada mereka, dalam artian, mereka adalah tanggungan kita. 

Dalam pandangan Islam perbuatan yang dilakukan oleh anak yang ingin memberikan zakatnya kepada orang tua sendiri tidak dibenarkan. Untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan kegotong-royongan menuju kebaikan dan ketaqwaan tidak hanya dengan zakat melainkan juga dengan nafkah dan sedekah. Untuk membantu keluarga yang kurang mampu terutama orang tua sendiri sangat dianjurkan dalam Islam yaitu membantunya dengan sumber dana yang lain nya bukan dari zakat melainkan dari infaq/sedekah yang besar keutamaan pahalanya. Allah Swt berfirman: 

"Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya."
 (QS. Saba’: 39) 

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati " 
(QS. Al Baqarah: 274) 

Dalam sebuah hadist :
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw., bersabda: "Bersedekahlah. " Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: "Bersedekahlah pada dirimu sendiri." Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk anakmu." Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk istrimu." Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk pembantumu." Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Kamu lebih mengetahui penggunaannya. "
(HR. Abu Dawud dan Nasa’i) 

Sebaliknya, menurut ulama pemberian zakat kepada adik termasuk memberikan beasiswa pendidikannya maka tidak berdosa atau diperbolehkan menyalurkan zakat kepada mereka. Sebab, mereka dikategorikan bukan tanggungan nafkah secara langsung kita sendiri, melainkan orang tua. Ada sisi keutamaan saat kita mengeluarkan zakat kepada keluarga terdekat. Nabi saw bersabda, 

"Dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah." 
(HR. Bukhari) 

Pada dasarnya menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Namun meskipun begitu, penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah pengelola ataupun lembaga yang khusus menangani zakat (seperti BAZ/LAZ/OPZ) yang amanah, terpercaya dan adil. Agar zakat dapat terdistribusi dengan baik, tidak menumpuk pada satu orang atau beberapa orang dan lebih bermanfaat, karena hal ini sudah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah. Dahulu, dalam menangani zakat Rasulullah membentuk tim yang merupakan petugas zakat yang terdiri dari para sahabat untuk memungut zakat, dan hal ini diteruskan oleh generasi sahabat sesudahnya dan juga BAZ/LAZ yang memiliki manfaat lebih besar dan lebih merata. 

Pendapat lain yang didapatkan mengatakan bahwa memberikan zakat kepada anak dan orang tua yang tidak lagi ditanggung nafkahnya diperbolehkan dengan syarat mereka sedang terlilit hutang, budak yang memerlukan tebusan untuk bebas atau ingin berperang di jalan Allah. Hal ini diperbolehkan menurut pendapat yang paling kuat dalam Majmu’ Al-Fatawa,yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Syarat yang lain sebagaimana diuraikan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah adalah anak atau orang tua sangat miskin dan ia tidak memilki tanggungan nafkah kepada mereka sama sekali. Hal ini atas dasar bahwa jika mereka yang diberi zakat itu miskin dan mereka yang memberi zakat tidak mengambil manfaat sama sekali dari zakat yang ia serahkan. 

Dari beberapa uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang tua sendiri sebab mereka adalah masih tanggungan nafkah dari seorang anak meskipun jarak rumah anak berjauhan dan sudah berkeluarga. Hal ini sebagai bentuk bakti anak –adab anak– terhadap orang tuanya, memperlakukan orang tua dengan sebaik-baiknya termasuk memberikan nafkah/sedekah. Adapun terhadap adik, ulama membolehkan pemberian zakat terutama beasiswa kepada mereka, sebab mereka bukan tanggungan nafkah langsung darinya. Maka, sebagai saudara memiliki peran tanggung jawab tidak langsung yang diberikan kepada adik sendiri. 

Kemudian, berzakat kepada orangtua yang fakir miskin tidak diperbolehkan demikian menurut jumhur ulama. Hal tersebut bahkan sudah menjadi ijma' (konsensus) di kalangan para ulama sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Munzir. Sedangkan memberikan zakat kepada saudara kandung yang terkatogerikan mustahiq (fakir miskin–pen) maka hal tersebut diperbolehkan selama biaya hidupnya bukan menjadi tanggung jawab muzakki. Bahkan menurut para ulama lebih utama karena didalamnya terkandung dua aspek yang sangat diperintahkan dalam agama. Pertama, zakat itu sendiri, dan kedua adalah silaturrahmi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Beribadah adalah anjuran yang sangat mutlak untuk kita laksanakan, tapi dengan catatan kita beribadah dengan ilmu tentangnya. Tetaplah berbuat baik,  Karena tiada balasan yang pantas untuk membalas suatu kebaikan melainkan hanya dengan kebaikan pula (Q.S Ar-Rahmaan)

Wassalaamu'alaikum.
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 1:53:00 PM

Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri

Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu,
Semoga saudara-saudaraku sekalian dalam keadaan sehat dan baik hatinya, teguh imannya dan baik budinya...,

Dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat sebuah rubrik atau fenomena yang sangat banyak ditanyakan oleh kita. Ialah tentang Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Sebelumnya mari kita perhatikan hadist Rasulullah berikut :

Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” 
[HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]

Akikah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa akikah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan.

Secara umum pelaksanaan aqiqah dibebankan kepada ayah dari anak yang baru dilahirkan. Secara hukum aqiqah adalah sunnah muakkad sebagaimana hadist tersebut di atas.

Kembali kepada masalah yang kita bahas kali ini, dari uraian di atas, bagaimana sebenarnya Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri menurut acuan Al-Quran dan Hadist?
Alhamdulillah dengan cukup melibatkan beberapa pendapat para ulama yang diangkat dalam dialaog tanya jawab antara jamaah, penulis mendapatkan catatan dari narasumber (Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P, Ma) yang mengkin bisa menjadi pertimbangan dan pandangan untuk kita dalam masalah Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Mari kita baca dan pahami dialog berikut :

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz,... saya ingin bertanya tentang hukum orang akikah untuk dirinya sendiri... mohon penjelasan ustadz beserta dengan dalil-dalilnya dari Alquran dan Hadis... terima kasih ustadz sebelumnya. Dari Rizqi di Tebing Tinggi.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudari yang cukup umum dan terjadi di masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan saudari, berikut saya uraikan beberapa hal antara lain:

Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya. Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah baligh. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.

Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian baligh dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri. 

Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak). Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.” Sementara menurut pendapat kami, akikah disyariatkan untuk dilakukan bapak. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu menggantikannya….” (Al-Mughni, 9:364)

Ibnul Qayim mengatakan, “Bab, hukum untuk orang yang belum diakikahi bapaknya, apakah dia boleh mengakikahi diri sendiri setelah balig?” Al-Khalal mengatakan, “Anjuran bagi orang yang belum diakikahi di waktu kecil, agar mengakikahi diri sendiri setelah dewasa.” Kemudian ia menyebutkan kumpulan tanya jawab dengan Imam Ahmad dari Ismail bin Sa’id Al-Syalinji, ia mengatakan, “Saya bertanya kepada Ahmad tentang orang yang diberi tahu bapaknya bahwa dia belum diakikahi. Bolehkah mengakikahi diri sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Itu adalah kewajiban bapak.” 

Dalam kitab Al-Masail karya Al-Maimuni, ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahi, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan. Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika belum diakikahi waktu kecil agar melakukan akikah setelah dewasa. Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya.”

Abdul Malik pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah dia berakikah ketika dewasa?” Ia menjawab, “Saya belum pernah mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” Abdul Malik bertanya lagi, “Dulu bapaknya tidak punya, kemudian setelah kaya, dia tidak ingin membiarkan anaknya sampai dia akikahi?” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu. Saya belum mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” kemudian Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” (Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88)

Setelah membawakan keterangan di atas, Syekh Abdul Aziz menjelaskan, “Pendapat pertama yang lebih utama, yaitu dianjurkan untuk melakukan akikah untuk diri sendiri. Karena akikah sunah yang sangat ditekankan. Bilamana orang tua anak tidak melaksanakannya, disyariatkan untuk melaksanakan akikah tersebut jika telah mampu. Ini berdasarkan keumuman banyak hadis, diantaranya, sabda Nabi saw: “Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub ra., dengan sanad yang shahih.

Termasuk juga hadis Ummu Kurzin, bahwa Nabi saw., memerintahkan untuk memberikan akikah bagi anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah. Demikian pula Tirmudzi meriwayatkan yang semisal dari Aisyah. Dan ini tidak hanya ditujukan kepada bapak, sehingga mencakup anak, ibu, atau yang lainnya, yang masih kerabat bayi tersebut.”

Jika diteliti keterangan di atas, maka terjadi perbedaan pendapat. Namun dalam hal ini saya lebih cenderung untuk mengamalkan pendapat yang disampaikan oleh Imam Ahmad yang pada intinya menyatakan bahwa akikah untuk diri sendiri tidak memiliki dasar yang jelas secara tekstual dalam Alquran dan Hadis. Oleh karena itu, kewajiban akikah memang ditangan orangtua khususnya bapak, bukan anak. 
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wassalaamu'alaikum :)
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 10:49:00 PM

Hukum Foto Sebelum Nikah (Pra-wedding) Menurut Islam

Assalamu'alaikum...,
Smoga keselamatan atasmu saudara-saudaraku seiman.

Bismillahirrohmanirrohiim,

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
[Q.S Ar-Rum 30 : 21]

Demikian ayat Alllah dalam Al-Quran yang merupakan suatu tanda-tanda kekuasaannya dan sifat Rahman dan Rahiimnya. Sebagai makhluk hidup yang diberikan hasrat dan pikiran, tentunya Allah Mengetahui qodrat dari hambaNya. Semua Allah jadikan berpasangan. Bukan hanya dengan manusia, dari benda bahkan sifat Allah buat berpasangan. Yang tinggi berpasangan dengan yang rendah. Yang besar berpasangan dengan yang kecil. Maha Suci Allah..., karena perbedaan itu bisa saling melengkapi di antara sesamanya.

Allah menjadikan kita manusia dengan perbedaan jenis kelamin. Ada laki-laki dan perempuan yang memang diciptakan untuk berpasangan. Untuk saling melengkapi, berkasih sayang dan beribadah untuk menggapai ridho Ilahi. Akan tetapi semua itu bukanlah hal yang hanya didasrkan oleh kehendak nafsu sajja, melainkan ada aturan atau ketentuan yang menjadi tata tertibnya sehingga hubungan itu suci, halal dan tidak menyalahi agama. Artinya di antara laki-laki dan perempuan yang akan hidup bersama harus ada suatu ikatan yyang menyatukan mereka sebagai pasangan yang syah sebagai suami isteri. Tapi bagaimana jika seandainya itu terjadi sebelum atau dengan tiada ikatan yang sah?

Dalam hal ini penulis akan mengangkat hal yang sangat banyak di antara kita yang tidak mengangap ini sebagai etika dan aturan. Iyalah foto sebelum nikah ( foto pra-wedding). Foto sebelum nikah atau sering disebut dengan istilah kerennya Foto Pra-wedding..., sudah bukan hal yang asing kita lihat. Sewaktu kita menghadiri undangan-undangan pernikahan, jarang foto-foto itu gak kita lihat. Karna entah dasar apa atau motivasi apa, untuk masa sekarang ini foto-foto itu bahkan dah menjadi salah satu syarat syah nya acara. Dengan bangganya memajangkan foto-foto mesra yang belum pada Haknya...,
Ya, namanya berfoto sebelum nikah, artinya berfoto dan bermesraan dengan orang yang bukan MAHRAM-nya.

Berikut ini adalah sebuah sesi tanya jawab yang penulis kutip waktu menghadiri majlis taqlim yang diisi oleh Ustadz Dr. Fuji Rahmadi,MA seorang ustadz dan dosen di perguruan tinggi agama islam IAINSU.
Mari kita baca hayati bersama.

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ustadz yang dirahmati Allah. Saya ingin bertanya sekitar tentang undangan pesta perkawinan yang di dalamnya terdapat foto bermesraan atau lebih dikenal dengan foto pre-wedding. Hal ini banyak dipraktekkan oleh ummat Islam, bagaimana hukumnya dalam Islam menurut ustadz,.. mohon penjelasan ustadz, terima kasih….. Azwar – di Medan

Jawaban:

Memang benar pak, kondisi saat ini menunjukkan bahwa banyak pengantin yang memakai jasa foto pre wedding. Di situ pengantin pria dan wanita yang belum akad nikah sudah berpose berdua. Untuk melakukan foto-foto tersebut mereka pun terlihat mesra seperti layaknya suami isteri. Padahal mereka belum sah secara agama. Bagaimana hukumnya?

Sebelum selesai ijab qabul antara ayah kandung pihak pengantin perempuan dan menantu laki-lakinya, hubungan antara kedua insan yang akan menikah itu tetap masih haram. Keharamannya tidak ada bedanya dengan haramnya seorang wanita dengan laki-laki asing (ajnabi) lainnya.

Sebuah persepsi salah yang sering kita jumpai di tengah masyarakat adalah memberikan kelonggaran kepada pasangan yang akan segera menikah untuk berjumpa, bercampur, bergaul dekat bahkan intim. Padahal semua itu masih haram hukumnya dalam pandangan syariat Islam. Namun banyak kita jumpai kesalahan seperti ini di tengah masyarakat.

Selama ijab qabul belum terjadi, keduanya masih diharamkan untuk berduaan, berjalan-jalan, makan berdua atau bentuk lain yang intinya adalah berkhalwat. Sebab yang ketiganya adalah syetan, yang dapat saja menggoda keduanya melakukan hal-hal yang dimurkai Allah swt.

Kepada mereka berdua juga haram untuk terlihat sebagian auratnya, bersentuhan kulit, apalagi melakukan melakukan kencan mesra seperti petting dan sejenisnya. Dan termasuk hal yang seharusnya dihindari adalah melakukan shooting adegan yang menggambarkan bahwa mereka berdua adalah sudah menjadi suami istri, dengan pose-pose yang mendukung ke arah itu. Meski tujuannya untuk dicetak pada kartu undangan pernikahan mereka berdua. Sebab secara hukum, keduanya masih sama-sama orang asing (ajnabi), lantarn belum lagi terjadi ijab kabul.

Kalau pun photo seperti itu harus dibuat, sebaiknya adegan itu diambil setelah adanya akad nikah terlebih dahulu. Dan biasanya, ada jeda waktu tertentu antara acara akad nikah dengan pesta walimah selama beberapa waktu, sehingga masih ada kesempatan untuk mengambil gambar dan mencetaknya pada kartu undangan. Rasanya hanya inilah alternatif yang benar untuk masalah yang satu ini.

Memang saat ini secara teknologi fotografi mungkin saja dibuat foto seperti itu tanpa keduanya dipotret bersamaan. Calon pengantin laki-laki dan calon penganting wanita masing-masing dipotret sendiri-sendiri secara terpisah, lalu kedua hasil foto mereka bisa dipadukan dengan menggunakan software tertentu, sehingga hasilnya seolah-olah mereka difoto bersama.

Namun titik masalahnya bukan hanya saat pengambilan gambar, tetapi harus diperhatikan juga tentang asosiasi orang lain yang melihat hasil rekayasa itu. Paling tidak orang yang mengerti syariah akan bertanya, mengapa keduanya sudah berpose layaknya sepasang suami istri padahal belum lagi resmi menikah?

Barangkali bila foto mereka masing-masing diletakkan pada posisi yang terpisah, akan lebih baik dan lebih selamat dari banyak pertanyaan. Yang penting bahwa tujuan pembuatan foto itu tetap tercapai, namun tanpa menimbulkan masalah atau tanda tanya.

Kita harus lebih arif dan jeli dalam melakukan segala tindakan, terutama hal-hal yang terkait dengan pelanggaran secara syariah. Agar hidup kita barakah dan Allah swt ridha kepada kita. Kalau bukan barakah dan ridha dari Allah swt., apalagi yang kita cari dalam hidup ini.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa foto pre-wedding adalah haram. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA. mengatakan bahwa foto pre-wedding yang dimaksud adalah foto mesra calon suami dan calon istri yang dilakukan sebelum akad nikah. Foto pre-wedding diharamkan, karena saat berfoto itu mereka belum memiliki ikatan apa-apa. Itu tidak dibenarkan dalam hukum Islam. Kalau mau memasang foto di dalam undangan, pasang saja foto masing-masing bukan foto mesra.

Kesimpulannya, diharamkan apabila dalam pembuatan foto dilakukan dengan dibarengi adanya ikhtilat atau percampuran laki-laki dan perempuan, bermesraan berduaan dan membuka aurat. Foto pre wedding diharamkan karena dengan 2 pertimbangan, yang pertama yaitu bagi pasangan mempelai dan fotografer yang melakukannya. Untuk mempelai diharamkan apabila dalam pembuatan foto dilakukan dengan dibarengi adanya ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), kholwat (berduaan) dan kasyful aurat (membuka aurat). Sementara pekerjaan fotografer pre wedding juga diharamkan karena dianggap menunjukkan sikap rela dengan kemaksiatan.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.
Wassalam.
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 11:13:00 PM

Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. III

Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu.

berikut adalah sambungan dari artikel sebelumnya tentang Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. II yaitu dengan judul Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. III.

Pada kesempatan ini penulis tidak menyajikan isi ayat-ayat Al-quran yang sedang dibahas, tetapi dalam tulisan ini hanya akan memetakan ayat-ayat tersebut di dalam Al-Quran. Jadi sebagai pemetaan singkat, penulis memetakan dalil quran tentang :
  • Hukum shalat
    • Kewajiban shalat: 2:110, 2:177, 2:277, 4:103, 4:162, 5:12, 6:72, 6:92, 7:29, 8:3, 9:11, 9:18, 9:71, 13:22, 14:31, 14:37, 14:40, 20:132, 22:78, 24:56, 30:31, 33:33, 58:13
  • Syarat-syarat shalat
    • Menghadap kiblat waktu shalat
      • Pemindahan kiblat: 2:142, 2:143, 2:144
      • Kewajiban menghadap kiblat dan keutamaannya: 2:142, 2:143, 2:144, 2:149, 2:150
      • Shalat yang tidak wajib menghadap kiblat
        • Shalat di tengah berkecamuknya perang: 2:239, 4:102
    • Suci waktu shalat
      • Suci syarat shalat: 5:6
      • Kesucian tubuh orang yang shalat: 4:43
    • Menutup aurat waktu shalat: 7:31
  • Rukun-rukun shalat
    • Membaca Al Quran waktu shalat
      • Bacaan shalat: 73:20
      • Membaca dengan keras waktu shalat: 17:110
    • Rukuk: 2:125, 5:55, 9:112, 22:26, 22:77, 48:29, 77:48
    • Sujud
      • Sujud salah satu rukun shalat: 22:77, 39:9
      • Keutamaan tempat sujud: 48:29
  • Hal yang disunnahkan dalam shalat
    • Khusyuk dalam shalat: 2:45, 23:2
  • Tempat-tempat shalat
    • Tempat yang disunnahkan shalat di atasnya
      • Shalat di dalam mesjid: 7:29, 24:36
      • Keutamaan mesjid Quba': 9:108
    • Masjid-masjid
      • Keutamaan masjid
        • Allah suka kepada masjid: 7:29, 24:36
        • Keutamaan dan pahala membangun masjid: 24:36
        • Mesjid sebagai rumah Allah di bumi: 2:114, 2:187, 9:17, 9:18, 22:40, 72:18
        • Membuat mesjid di atas kuburan: 18:21
      • Etika dalam masjid
        • Bersetubuh saat beri'tikaf dalam masjid: 2:187
        • Membersihkan masjid dan membuatnya harum: 2:125, 22:26, 24:36
        • Sikap masuk masjid: 7:31
      • Yang berhak masuk masjid
        • Hukum orang yang junub masuk dan lewat dalam masjid: 4:43
        • Hukum orang musyrik masuk ke dalam masjid: 9:17, 9:28
  • Waktu-waktu shalat
    • Penentuan waktu shalat: 17:78
    • Keutamaan shalat pada waktunya: 2:238, 7:170, 20:14
    • Waktu Ashar
      • Keutamaan shalat Ashar: 2:238, 20:130, 50:39
    • Waktu Subuh
      • Keutamaaan shalat Subuh: 17:78, 20:130, 50:39, 89:1
  • Azan
    • Disyariatkannya azan: 5:58
    • Waktu azan
      • Adzan Jum'at: 62:9
  • Mengqadha shalat
    • Meninggalkan shalat karena lupa: 38:32, 38:33, 107:4, 107:5
  • Menqashar shalat saat bepergian
    • Disyariatkannya shalat qashar: 4:101
  • Shalat Jum'at
    • Keutamaan hari Jum'at
      • Keutamaan shalat Jum'at: 62:9, 85:3
    • Hukum shalat Jum'at
      • Kewajiban shalat Jum'at: 62:9
      • Orang yang tidak diwajibkan shalat Jum'at
        • Terlambat shalat Jum'at
          • Meninggalkan shalat Jum'at karena sakit: 48:17
    • Khutbah Jum'at
      • Mendengarkan khutbah Jum'at: 62:11
    • Etika hari Jum'at
      • Jual beli pada hari Jum'at: 62:9, 62:10, 62:11
  • Shalat sunnah
    • Disyari'atkannya shalat sunnah dan keutamaannya
    • Shalat malam (tahajjud)
      • Hukum shalat malam: 11:114, 25:64, 26:219
      • Keutamaan shalat malam: 11:114, 17:79, 50:40, 73:2, 73:20, 76:26
      • Waktu shalat malam: 3:113, 17:79, 25:64, 26:218, 32:16, 39:9, 50:40, 51:17, 73:6
      • Ukuran bacaan pada shalat malam: 20:130, 73:3
      • Etika shalat malam: 73:20
        • Meninggalkan kesulitan dalam shalat malam: 2:286, 73:20
  • Shalat Khauf (waktu perang)
    • Sifat shalat khauf: 4:102
    • Disyari'atkannya shalat khauf: 2:239, 4:102
    • Menqashar shalat khauf: 4:102
    • Shalat ketika berkecamuknya perang: 2:239
  • Shalat 'Ied (hari raya)
    • Sunnat-sunnat shalat 'Ied
      • Menyembelih kurban setelah shalat 'Ied: 108:2
  • Sujud tilawah
    • Ayat-ayat sujud tilawah: 13:15, 16:49, 17:107, 19:58, 22:18, 22:77, 25:60, 27:25, 32:15, 38:24, 41:37, 53:62, 84:21, 96:19
Catatan :
Cara pembacaan ayat misalnya 13:15 artinya Quran Surah ke-13 ( Ar-Ra'ad ) ayat ke-15

Bersambung ke Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. IV tentang Hadist.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.
Wassalaamu'alaikum :)

Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 4:33:00 PM

Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. II

Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokkaatu.

Sesuai janji penulis pada postingan sebelumnya tentang Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. I , maka pada kesempatan ini penulis akan menyambungkan tulisan tersebut dengan judul Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. II.

Sebelumnya penulis telah akhiri tulisan Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. I sampai bagian Al-Quran nomor 2, Tentang Shalat salah satu rukun Islam. Berikut lanjutannya :) .

3. Tentang Pahala Menjaga Shalat :

Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.
[ Q.S Al An'aam 6 : 92]

Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.
[Q.S Al A'raaf 7 : 170]

(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.
[Q.S Al Hajj 22 : 35]

dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
[Q.S Al Mu'minuun 23:9-11]

laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.(Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
[Q.S An Nuur 24:37-38]

Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.
[Q.S An Nuur 24:56]

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir,Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.
[Q.S Al Ma´aarij 70 : 19-23]

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.  Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalat.Mereka itu (kekal) di syurga lagi dimuliakan. 

[Q.S Al Ma´aarij 70 : 32-35]



Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.
[Q.S Al A´laa 87 : 14-15]

4. Buruknya balasan orang yang menyia-nyiakan shalat :

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.
[Q.S Maryam 19 :59]

tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, 
[Q.S Al Muddatstsir 74 : 44]

Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat,  tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran),kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu
[Q.S Al Qiyaamah 75 : 31-35]

5. Tentang Shalat batas antara muslim dan kafir :

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
[Q.S  Al Baqarah 2 : 143]

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.
[Q.S At Taubah 9 : 5]

Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. 
[Q.S At Taubah 9 : 11]

Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Rukuklah, niscaya mereka tidak mau ruku'.
[Q.S Al Mursalaat 77 : 47]

5. Shalat sebagai pendekatan diri kepada Allah :

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
[Q.S Al-Baqoroh 2 : 45]

Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan,maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). 
[Q.S Al Hijr 15 : 97-99]

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
[Q.S Maryam 19 :31]

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
[Q.S Thaahaa 20 :14]

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, 
[Q.S Al Anbiyaa' 21 : 73]

Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang),dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. 
[Q.S Asy Syu'araa' 26 : 217-219]

6. Tentang Shalat membentuk akhlak manusia :

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[Q.S Al 'Ankabuut 29 : 45]

Bersambung ke bagian Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. III

Semoga bermanfaat.
wassalaamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatu.
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 4:25:00 PM

Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. I


Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokkaatu.

Alhamdulillah dalam kesempatan ini penulis masih diberi kesempatan untuk terus berdakwah secara online tentang risalah-risalah atau perkara yang bersangkutan dengan Islam. Pada kesempatan ini penulis akan menyajikan beberapa dalil yang membahas perkara Shalat. Sebelumnya mari kita bahas terlebih dahulu tentang arti dari shalat.


Shalat (Bahasa Arab : صلاة; transliterasi: Shalat), Secara bahasa Shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, doa. Sedangkan, menurut istilah, Shalat adalah serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
[http://id.wikipedia.org/wiki/Salat]

Shalat adalah tiang agama Islam kerna yang membedakan Islamnya seseorang dengan yang lain adalah shalat. Sesuai hadist Rasulullah SAW :

“Pemisah antara seseorang dengan kekufuran serta kesyirikan adalah meninggalkan shalat.”
[HR Muslim]

“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya, ia telah kafir.”
[HR Ahmad, Tirmizi, al-Nasa’i, al-Baihaqi, dan al-Daruquthni]

Shalat yang benar adalah shalat yang memenuhi rukun dan syarat sah shalat. Untuk mengetahui tentang rukun shalat bisa dilihat pada tulisan saya tentang Tauhid dalam Bacaan dan Gerakan Shalat. Dan syarat sah shalat mungkin kita bisa mencari di beberapa artikel lain yang telah banyak membahas tentang hal tersebut. Hal ini untuk menyesuaikan judul artikel ini.

Sekarang mari kita fokus pada judul "Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist". Sungguh banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang mengkaji tentang shalat. Untuk lebih mendetail penulis petakan dalam beberapa bagian :
A. Dalam Al-Quran

Keutamaan Shalat;

1. Tentang Pahala shalat :

Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar. 
[Q.S An-Nisaa'  4 : 162]

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.
[Q.S Al-Maidah 5 : 12]

Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.
[Q.S Al-A'raaf 7 : 170]

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
[Q.S At-Taubah 9 : 18]
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[Q.S At-Taubah 9 : 71]

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
[Q.S Huud 11 : 114]

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), 
[Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
[Q.S Al-Mu'mimuun 23 : 1-3]

Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.
[Q.S An Nuur : 24:56]

(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[Q.S Luqman 31 : 4-5]

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[Q.S Al Ahzab 33 : 32-33]

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, 
[Q.S Faathir : 35: 29]

 2. Tentang Shalat salah satu rukun Islam:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'
[Q.S Al Baqarah 2 : 43]

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
[Q.S Al Baqarah 2 : 83]

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
[Q.S Al Baqarah 2 : 110]

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. 
[Q.S Al Baqarah 2 : 177]

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
[Q.S Al Baqarah 2 : 277]

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
[Q.S An Nisaa' 4 : 77]

Dan beberapa ayat lainnya yang mungkin bisi pembaca lihat dalam Al-Quran pada  4:103, 4:162, 5:12, 5:55, 6:72, 7:170, 8:3, 9:5, 9:11, 9:18, 9:71, 22:41, 23:9, 24:56, 27:3, 29:45, 31:4, 35:18, 35:29, 58:13, 70:34, 73:20, 98:5.

Catatan :
(Misalkan 4:103 dibaca Surah keempat al-quran ( An-Nisaa' ) ayat ke 110 )

Demikian untuk tulisan tentang Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. I, insyaallah untuk judul Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist Bag. II akan dapat kita jumpai pada tulisan beriikutnya.

Semoga bermanfaat :)
Wassalaamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatu.
Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 3:18:00 PM

Sujud Sajadah Dan Cara Melaksanakannya


Assalaamu'alikum warohmatulloohi wabarokatu.....,

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyajikan suatu hal yang mungkin jarang kita laksanakan atau bahkan kita belum tahu tentang perkara tersebut. Ialah dia adalah Sujud Sajadah. Tulisan ini dikutip dari catatan Abangandan Dr. Fuji Rahmadi, MA dalam suatu kesempatan ceramah yang  membahas Rubrik Hukum Islam Tentang Sujud Sajadah yang disajikan dalam bentuk tanya jawab.


Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum ustadz... Saya ingin bertanya tentang hukum sujud sajadah, bacaan, dan tatacara melakukannya dalam aturan fikih. Mohon agar ustadz bisa menjelaskannya secara rinci dan jelas. Terima kasih ustadz. Dari: Bu Erniati Medan

Jawaban:

Sujud sajadah atau sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan setelah membaca salah satu ayat-ayat sajadah dalam Aquran ketika sholat ataupun di luar sholat. Orang yang mendengar juga dituntut sujud apabila mendengar ayat sajadah. Ini bermaksud, orang yang dituntut sujud ialah orang yang membaca ayat sajadah dalam sholat, orang yang membacanya di luar sholat, orang yang mendengar tidak dalam sholat dan tidak membaca. Ketiga-tiga keadaan ini dituntut sujud tilawah.

Jika seseorang itu membaca Alquran bersendirian dan sampai pada ayat sajadah hendaklah dia sujud. Manakala jika seorang imam membaca ayat sajadah lalu apabila sampai pada ayat sajadah dia pun sujud, maka wajib bagi makmum mengikut imam dalam sujud.

Dalam tertib sujud disunatkan bertakbir sebelum sujud dengan tidak mengangkat kedua tangan dan hendaklah memelihara adab ketika sujud seperti mana sujud dalam sholat. Bacaan yang disunatkan dalam sujud sajadah ialah 

Allahumma laka sajdtu wa bika aamantu, wa laka aslamtu, sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wa sawwarahu, wa syaqqa sam'ahu wa basharahu wa quwwatihi, fa tabarakallahu ahsana al-Khaliqin 

Artinya : 

(Wahai Tuhan, kepada-Mu jualah aku sujud, dengan-Mu jualah aku beriman dan kepada-Mu lah aku berserah, telah sujud wajahku kepada yang telah menciptanya, yang telah memberi rupa baginya dan telah memberi pendengaran dan penglihatan dengan kehendak-Nya dan dengan kekuatan-Nya, Tuhan yang penuh limpah keberkatan-Nya telah menjadikan manusia dengan sebaik-baik kejadian). 



Setelah itu, takbir kembali untuk bangkit dari sujud

Adapun syarat sujud bagi mereka yang di luar sholat adalah:
  1.  Suci dari hadas kecil dan hadas besar; 
  2. Menutup aurat; 
  3. Berniat untuk sujud sajadah;
  4. Menghadap kiblat; 
  5. Takbiratul ihram dan takbir bagi sujud;
  6. Memberi salam. 

Sekiranya terdapat halangan yang menyebabkan seseorang itu tidak dapat sujud, seperti berhadas kecil, dalam kenderaan atau mendengarnya dari corong masjid, maka diharuskan mengucapkan: Subhanallahi walhamdulillahi, wa laa Ilaha illahi, wallahu akbar. 

Dalil tentang sujud sajadah sebagian besar adalah hadis Nabi saw., diantaranya: \

Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah saw., telah bersabda; Apabila anak Adam membaca ayat Sajadah, lalu dia sujud; maka syaitan jatuh sambil menangis. Katanya, "kecelakaan ke atas aku! Anak Adam disuruh sujud, maka dia sujud, lalu mendapat syurga. Aku disuruh sujud, tetapi aku menolak maka untukku neraka.
[HR. Bukhari dan Muslim] 

Ibnu Umar meriwayatkan; Bahwa Nabi saw., pernah membaca Alquran. Lalu beliau membaca sebuah surah yang ada ayat sajadahnya. Beliau lantas sujud dan kami juga sujud mengikuti beliau sampai-sampai beberapa di antara kami tidak mendapatkan tempat sujud bagi keningnya (karena banyaknya sahabat yang hadir). 
[HR. Muslim]

Menurut mazhab Al-Syafi’iyyah, hukum sujud sajadah adalah sunat muakkad, atau sunat yang amat digalakkan. Sementara mazhab Al-Hanafiyyah mewajibkan sujud sajadah. Ini didasarkan pada hadis dari Umar ra.,: 

Pada suatu hari Jumat, dia (Rasulullah) membaca surah al-Nahl di atas mimbar, maka ketika sampai pada ayat Sajadah, dia lalu turun dan sujud. Dan para hadirin juga turut melakukan sujud. Pada hari Jumaat berikutnya, dibacanya surah berkenaan, lalu apabila sampai pada ayat Sajadah dia berkata: Wahai manusia, sebenarnya kita tidak diperintahkan (diwajibkan) sujud tilawah/sujud sajadah. Tetapi barang siapa bersujud, dia telah melakukan yang benar. Dan barang siapa yang tidak melakukannya, maka dia tidak mendapat dosa.
[HR. Bukhari dan Muslim] 

Ayat-ayat sajadah dalam Alquran antara lain : 
  • Surah Al-A’Raaf: 206,
  • Surah Ar-Ra’d: 15,
  • Surah Al-Nahl: 50,
  • Surah Al-Isra’: 109,
  • Surah Maryam: 58,
  • Surah Al-Haj: 18,
  • Surah Al-Haj: 77,
  • Surah Al-Furqan: 60,
  • Surah An-Naml: 26,
  • Surah As-Sajdah: 15,
  • Surah Shaad: 24,
  • Surah Fushshilat: 38,
  • Surah An-Najm: 62,
  • Surah Al-Insyiqaq: 21,
  • Surah Al-’Alaq: 19. 

Adapun bacaan ayat dari surah Shaad ayat 24 menurut Syafi'iyah dan Hanbaliyah tidak termasuk ayat yang dituntut sujud, tetapi ayat itu adalah ayat yang disunatkan untuk sujud syukur. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah swaw., 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Shaad tidak termasuk dalam tuntut sujud (yaitu ayat 24), sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah saw., sujud padanya, lalu baginda bersabda: telah sujud Daud as dalam ayat sebagai taubat kepada Allah swt, manakala kita sujud sebagai tanda syukur kepada Allah
[HR. Bukhari]

Berkaitan dengan rutinitas imam masjid yang melakukan sujud sajadah di setiap subuh jumat, hal ini berdasarkan hadis: 

Dari Abu Hurairah r.a. yang telah memberitahu bahwa: “Rasulullah saw., akan membaca surah Alif Lam Mim dan surah al-Insan pada solat fajar pada hari Jumaat."
[HR. Bukhari].

 Dalam menjelaskan kandungan hadis ini, Ibnu Daqiq al-Aed berpendapat bahwa hadis ini tidaklah bermaksud mesti membaca kedua-dua surah itu secara berterusan. Seorang ulama yang bernama al-Qarafiy di dalam kitabnya, Fawaid al-Muhazzab menjelaskan bahwa: "Sekiranya waktu tidak mengizinkan untuk membaca surah Sajdah maka hendaklah dibaca beberapa ayat yang ada padanya sajadah." 

Setelah meneliti hadis Rasulullah saw., dan pandangan ulama dapatlah disimpulkan bahwa membaca surah Sajadah yaitu Alif Lam Mim dan surah al-Insan adalah sunat muakkad, maksudnya sunat yang dituntut. Maksudnya ibadah ini masih dalam kategori sunat, namun tidak bermaksud boleh ditinggalkan begitu saja. Dalam hal ini imam masjid mestilah memahami keadaan makmum. Rasulullah pernah mengingatkan para imam agar jangan memanjangkan bacaan karena khawatir ada di kalangan makmum yang mempunyai hajat untuk ditunaikan, mungkin juga ada orang tua yang tidak berdaya, termasuklah warga yang ingin ke tempat kerja. 

Semua ini perlu dipertimbangkan agar solat itu sempurna. Janganlah yang sunat itu diperlihatkan seperti wajib, sehingga menggangap kalau tidak baca surah Sajadah, tidak sah solat Subuh pagi Jumaat. Ini sudah bertentangan dengan syariat Rasulullah saw, baginda hanya menunjukkan yang terbaik, ini bermaksud siapa yang ada kemampuan dan ada waktu serta kelapangan lebih baik melakukan yang sempurna, tetapi kalau ada hambatan lakukanlah yang mampu, asalkan yang wajib tidak ditinggalkan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga bermanfaat untuk kita semua..,
wassalaaamu'alaikum :) 


Written by: Muchlis Al-Habibi
Al-Kautsar_@n Islamic Side Updated at: 4:31:00 PM
Home

Terpopuler